ChairilAnwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 - wafat di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang". (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern
ChairilAnwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul "Aku"). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra.
Pedangdi kanan keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati. Ini barisan tak bergandengan berpalu. Kepercayaan tanda menyerbu. (Diponegoro, Chairil Anwar) Isi dari kutipan puisi tersebut adalah Berperang melawan penjajah. Kepercayaan pada Tuhan.
PuisiChairil Anwar - merupakan karangan indah dari pengarang atau seniman yang melegenda yaitu Chairil Anwar, dimana banyak Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
Tematulisan Chairil erat dengan dari kematian, individualisme, eksistensialisme, hingga pemberontakan. Puisi berjudul "Aku" merupakan karya dari penyair terkenal Chairil Anwar yang sangat menginspirasi. Puisi "Aku", yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945, dianggap sebagai puisi yang besar pengaruhnya pada Angkatan
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. - Adakah penyair Indonesia yang lebih ikonis dan lebih inspiratif ketimbang Chairil Anwar?Achdiat Kartamihardja meminjam watak dan pribadi Si Binatang Jalang untuk menghidupkan Anwar, salah seorang tokoh dalam roman Atheis 1949. Arief Budiman menulis skripsi yang kemudian dibukukan, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan 1976. Sjuman Djaya mengangkat kisah hidup anak Medan ini ke dalam skenario Aku 1987. Hasan Aspahani merilis Chairil Sebuah Biografi 2016. Lewat Titimangsa Foundation, Happy Salma mementaskan lakon Perempuan-perempuan Chairil 2017. Exan Zen, penulis film—demikian keterangan di mesin pencari—memproduksi Binatang Jalang 2020, sebuah tahun ini, berita soal pemutaran film-puisi Binatang Jalang menjadi pembicaraan orang banyak di media sosial. Penyebabnya, sang sutradara menyelipkan potongan sajak berjudul Cinta dan Benci ke dalam dialog, sedangkan ia mendaku bahwa seluruh dialog dalam film tersebut diambil dari sajak-sajak Chairil. Padahal, jejak digital menunjukkan Cinta dan Benci ditulis Ari Ridho di blog pribadinya 65 tahun setelah Chairil wafat."Di sini, saya tidak bermaksud mempersembahkan karya Chairil Anwar si penyair terkenal tersebut. Karena, itu melanggar hak cipta. Jadi, saya membuat sendiri puisi cinta ini. Meskipun demikian, kumpulan puisi cinta karya saya ini terinspirasi dari puisi-puisi Chairil Anwar. Selamat menikmati. Maaf, bagi yang merasa tertipu," tulis Ari Ridho 11/7/2014.Omong-omong soal "kasus tipu-menipu" macam begitu, Ari Ridho tidak sendiri. Beberapa bulan setelah Chairil wafat, kabar gembira datang majalah Indonesia bakal menerbitkan sajak-sajak Chairil yang belum pernah otentik sajak-sajak itu adalah sebuah map yang selalu dikepit Chairil menjelang kematiannya. Ya, ketika meninggal pada 28 April 1949, tepat hari ini 72 tahun lalu, Chairil meninggalkan 1 ons gula merah, sepasang sepatu dan kaus kaki hitam, selembar uang rupiah, dan satu map berisi bundel-bundel kertas tulisan tangan berisikan warisan itu, sebagaimana ditulis Nasjah Djamin dalam Hari-hari Akhir Si Penyair 2013, sedianya akan diberikan Sam Soeharto kepada Hapsah, istri Chairil. Lantaran perempuan asal Karawang itu tak kunjung datang, Soeharto pun menyerahkan isi map kepada Trisno Sumardjo, redaktur majalah Indonesia. “Dan karena aku juga perlu duit,” kata Soeharto, “dan karena konco-konconya tidak ada perhatian, uang honorarium penerbitannya akan aku paruh-paruh dengan ahli waris yang sah.”Rencana penerbitan sajak Chairil disambut baik S. Soedjojono. Bapak Seni Rupa Modern Indonesia itu bahkan sampai turun tangan membuat ilustrasi sajak Chairil. “Saya tidak sudi bikin vignet-vignet penyair lain, kecuali untuk Chairil,” kata Soedjojono, kedatangan Mulyadi ke kantor Indonesia bikin semuanya berantakan. Ketika orang-orang mengatakan karya Chairil bakal terbit dan Mulyadi melihat-lihat lembaran proefdruk-nya, penyair muda yang sedang panas-panasnya berkarya itu malah terhenyak.“Satu kekeliruan sudah terjadi. Hampir terjadi satu kekonyolan. Sebundel sajak-sajakku hampir saja diterbitkan oleh majalah Indonesia. Terbit, atas nama Chairil Anwar!”Sebelum meninggal, Chairil memang rajin menyambangi para penyair muda, salah satunya Mulyadi, untuk meminta sajak-sajak mereka buat dikumpulkan dalam satu antologi bersama. Menurut Nasjah Djamin hal. 59, agaknya Chairil telah menuliskan kembali sajak-sajak yang dapat dikumpulkan dengan tulisannya sendiri, tanpa menuliskan keterangan, tanpa menuliskan nama penyairnya, atau belum sempat menuliskan nama si penyair pada kepala sajak.“Memang begitulah kebiasaan Chairil. Pada sajak-sajak tulisan tangannya yang berupa saduran atau alihbahasa, kita tidak menemukan nama penyair aslinya.”Lantas, bagaimana nasib Soeharto setelah sajak yang ia berikan kepada Trisno Sumardjo dan vinyet-vinyet yang dibuat khusus oleh S. Soedjojono justru terbit dengan nama Mulyadi?“Kamu mau tipu saya, ha? Jangan banyak bicara. Saya tidak perlu sama tukang tipu,” ucap Soedjojono, hal itu, Nasjah Djamin tertawa saja. “Tertawa, sebab manusia masih sempat tertipu oleh kenakalan Chairil sesudah dia meninggal.” Plagiarisme dan "Cerita Rakyat" Sastra Indonesia Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Sejak sajak pertamanya dimuat pada 1942, Nisan, Chairil hanya menulis 70 sajak hingga akhir hayat. Sedangkan seluruh tulisannya berupa sajak saduran, sajak terjemahan, prosa karya sendiri dan terjemahan, menurut Jassin, totalnya berjumlah 94 tidak hanya memublikasikan sajaknya di lembar-lembar kebudayaan, namun juga di majalah yang tidak mementingkan kesusastraan, misalnya Pemandangan, Revolusi Pemuda, Internasional, dan Ipphos Report. Hal itu pula yang membuat Jassin kelabakan mencari karya Chairil yang lain.“Sungguh tidak banyak dalam waktu tujuh tahun, lebih tepat masa-masa kegiatan 6 ½ tahun. Tapi dengan ini terbukti bahwa tidak ada alasan untuk menolak Chairil Anwar seluruhnya,” tulis Jassin dalam bab pendahuluan Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 1985.Konteks pembicaraan Jassin dan salah satu alasan dirilisnya buku tersebut adalah kasus plagiarisme yang dilakukan Chairil semasa hidupnya. Publik sastra meradang dan kecewa sebab sosok yang mereka elu-elukan sebagai pembaru justru merupakan seorang pencuri—lepas dari fakta bahwa Chairil memang kerap kedapatan mencuri buku maupun barang-barang kepunyaan orang menjelaskan, saat Chairil memublikasikan sajak “Datang Dara Hilang Dara” yang merupakan terjemahan dari sajak penyair Cina Hsu Chih-Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal, hal itu dilakukan karena penyakit Chairil makan ongkos bayar dokter. Sedangkan saat itu majalah-majalah dibanjiri sajak asli sehingga terjemahan jarang diterima—kalaupun diterima, pemuatannya lama dan honornya lebih sedikit ketimbang sajak asli.“Apakah karena plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang asli pun harus dianggap tidak lagi bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot predikat pelopor Angkatan ’45? Ini pertanyaan penting bagi para ahli hukum dan para moralis yang dalam hal ini diharap tidak melupakan faktor manusia dan keadaan,” pungkas dari kasus plagiarisme, nyaris semua tingkah laku Chairil telah menjadi semacam “cerita rakyat” yang terus dirawat dan “dikembangkan” dalam pergaulan sastra di Indonesia. Contohnya, ketika bertemu Heri Djuhaeri, penyair muda asal Majelengka, Ahmad Syubanuddin Alwy spontan melontarkan pernyataan yang menohok.“Heri, namamu tidak cocok jadi penyair. Nama macam itu paling banter menjadi nama kepala perpustakaan daerah,” kata Alwy, penyair asal macam itu bisa dirujuk hingga Chairil. Alkisah, ketika menyambangi kantor redaksi Balai Pustaka, Chairil berlagak bibir menjepit rokok, hidung didongakkan sedemikian rupa, sedangkan pandangannya diedarkan ke wajah-wajah pegawai yang suntuk bekerja. Dalam suasana hening, terdengar suara Chairil nyaring.“Idrus, hey Idrus! Apa namamu itu! Nama kampungan. Idrus, ha Idrus! Pantasnya kau seorang kusir. Namamu itu nama kusir.” Sedangkan kepada Baharudin, ilustrator, Chairil berkata pelan namun meyakinkan. “Bahar. Baharudin! Namamu itu juga nama orang kecil. Nama yang cuma pantas untuk seorang kepala kampung!”Kisah lain soal Chairil yang telah menjadi "warisan" sastra Indonesia bermula dari kebiasaannya menyambangi kompleks pelacuran. Di kemudian hari, rayuan para pekerja seks komersial itu sukses mengilhami Chairil membuat seruan monumental zaman revolusi “Bung, ayo bung!” Infografik Mozaik Chairil Anwar. seniman—Chairil sudah memantapkan pilihannya menjadi seniman sejak usia 15 tahun—pelopor Angkatan 45 ini tergolong pembaca yang rakus. Ia bisa bicara panjang lebar soal seni rupa dan teater, dengan pemahaman sama baik terhadap puisi dan sastra. Konon, lantaran keterampilan semacam itu tidak dimiliki seniman lain, Chairil dianggap sebagai “Ensiklopedia Bicara” oleh kalangan Chairil terhadap bacaan membuatnya tidak merasa berdosa tiap kali mencuri buku. Bahkan, sebagaimana diketahui orang banyak, ia pernah mengambil Alkitab padahal yang hendak dicurinya adalah buku filsafat. Jika tidak mencuri satu buku utuh, Chairil terbiasa menyobek halaman buku berisi sajak yang ia senangi atau sajak yang akan dia soal menerjemahkan, Chairil memang punya kelebihan. Sejak masih duduk di MULO tidak tamat, Chairil sudah menguasai bahasa Belanda dengan sangat baik. Selanjutnya, ia juga cas cis cus ngomong bahasa Inggris. Kemampuan itu, ditambah tampang Chairil yang putih, membuat Nasjah Djamin mengira bahwa sosok yang pertama kali ditemuinya di sanggar Seniman Muda Indonesia SMI, Yogyakarta, pada 1947 itu merupakan seorang anak Indo-Belanda pro republik.“Setelah meninggalkan sanggar, barulah saya tahu bahwa anak muda kayak Indo yang lincah, gesit, dan dinamis bicaranya itu tidak lain adalah si penyair Chairil Anwar,” kenangnya. Milik Masyarakat Penyair Beni Satryo pernah menyatakan, baginya, keistimewaan sajak-sajak Chairil adalah kemampuannya untuk senantiasa relevan dengan macam-macam suasana hati. “Tiap momen seolah bisa ditemukan quote-nya dalam karya-karya Chairil,” kata Beni. Saat harap-harap cemas lantaran cinta, misalnya, orang akan merasa terwakili oleh larik terakhir "Tuti Arctic" "Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar". Sedangkan saat dirundung putus asa, salah satu larik pada “Derai-derai Cemara” seolah punya fungsi menjadi mantra agar seseorang tidak melulu larut dalam kekalahan “Aku sekarang orangnya bisa tahan”.Dalam “Chairil Anwar Kita” catatan penutup “Aku Ini Binatang Jalang” cetakan kedelapan belas 2007, Sapardi Djoko Damono menyebut beberapa larik puisi Chairil telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara “hidup hanya menunda kekalahan”, “sekali berarti sudah itu mati’, “kami cuma tulang-tulang berserakan”, dan yang paling terkenal “aku ingin hidup seribu tahun lagi”.Menurut Sapardi, kenyataan ini tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni puisi Chairil Anwar, juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra telah tinggi.“Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa beberapa larik puisi Chairil Anwar sudah dianggap menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik pribadi penyair itu.” - Humaniora Penulis Zulkifli SongyananEditor Irfan Teguh
Gambar Saya tidak pernah menyangka bahwa puisi pertama dan terakhir Chairil Anwar berkisah tentang kematian. Agaknya dia sengaja. Seolah kematian sudah menjadi teman akrab. Atau barangkali Tuhan memang menakdirkan kematian’ di atas hidup Chairil. Umur 20 tahun ia menghadapi kenyaaan pahit. Oktober 1942, malaikat maut begitu kejam merenggut nyawa nenek tercinta. Chairil murung. Berhari-hari ia dirundung kesedihan. Neneknya, Mak Tupin memang menjadi sosok penting di mata Chairil. Dia tulus merawat Chairil waktu masih kecil. Tidak hanya itu, saat orang tua sedang bertikai, Mak Tupin-lah yang menjadi penengah dan menyejukkan kembali kondisi keluarga. Maka wajar jika dia merasa terpukul dengan kepergian Mak Tupin. Perihal kematian sang nenek, Chairil meluapkan segala perasaannya ke dalam bentuk frasa. Hingga terciptalah puisi “Nisan”, sebagai gambaran suasana batin Chairil setelah kehilangan sang nenek. Terlepas dari itu, “Nisan” menjadi puisi pertama yang mengawali karirnya sebagai penyair Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertakhta Begitu dalam seorang Chairil meresapi makna kematian. Padahal saat itu dia masih terbilang muda, namun kepedihan sudah melekat dalam dirinya. Kepergian neneknya menambah cambukan bagi Chairil. Sebelumya, orang tuanya telah bercerai. Chairil ikut ibunya dan pindah dari Medan ke Batavia pada tahun 1942. Penuh Vitalitas Saya belum mampu seperti Arif Budiman yang bisa menghayati secara mendalam puisi-puisi Chairil dengan penuh kesadaran. Sehingga ia berhasil menyelami kehidupan Chairil dan menghasilkan buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Barangkali ini masalah keterbatasan wawasan kesusasteraan saya. Tetapi lewat buku Aku karya Sumandjaya, Ini Kali Tidak Ada yang Mencari Cinta karya Sirgus Susanto, serta referensi lain tentang biografi Chairil, saya tahu bahwa hidup Chairil penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan. Setelah kepergian nenek, hidupnya tak tentu arah. Hari-hari yang dijalani amat semrawut. Ia semakin bohemian mencuri buku-buku di toko, datang ke tempat-tempat pelacuran, serta mabuk dan menggelandang di jalanan. Bahkan ia sendiri mengakui keliarannya dalam puisi “Aku” Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya yang terbuang Meski demikian, ia mempunyai vitalitas yang tinggi sebagai seorang penyair. Ia berbeda jalan dengan para pendahulunya seperti Amir Hamzah, Sultan Takdir, Armine pane, serta sastrawan Pujangga Baru lainnya yang dikendalikan Jepang. Saat menduduki Indonesia, Jepang mendirikan pusat kebudayaan dan mengendalikan para seniman untuk mendukung Perang Dunia II. Chairil mengecam keras tindakan Pujangga Baru. Dalam esai “Hoppla”, ia berani mengatakan bahwa Pujangga Baru tidak memberikan perubahan apa-apa dan masih setengah-setengah dalam menciptakan karya seni. Tindakan Chairil ini mendapatkan perlawanan balik. Ia pernah ditangkap oleh ospir Jepang. Tidak hanya itu, karya-karya dan keberadaannya juga tidak dihargai para sastrawan Pujangga Baru. Chairil sakit hati. Namun ia terus berjalan memperjuangkan ide-idenya dengan semangat Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang dan menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih dan peri Memilih Menderita’ Chairil menjalani hari-hari dengan penuh kesunyian. Ia merasa asing dengan kehidupan sekitarnya. Ia mempunyai idealisme sendiri kebebasan dan tidak mau berada di bawah kendali orang lain. Inilah jalan hidup “Tak Sepadan” yang ia pilih, dan ia siap menerima segala konsekuensinya. Aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbuka Ahasveros adalah seorang Yahudi dalam cerita Injil yang menolak Yesus datang ke rumahnya. Oleh Tuhan kemudian orang ini dikutuk untuk menjadi pengembara abadi, tidak pernah punya tempat tinggal seumur hidupnya. Chairil menganggap dirinya bernasib sama dengan Ahasveros. Hdupnya tak tentu arah. Tetapi inilah jalan yang menurutnya harus diperjuangkan. Pernah ia bekerja sebagai editor suatu majalah bersama Jassin. Karena bekerja untuk lembaga, maka mau tidak mau ia harus mematuhi kebijakan yang berlaku. Chairil harus bangun pagi-pagi, memakai pakaian rapi, berangkat ke kantor redaksi, dan bekerja di bawah tekanan deadline. Pekerjaan itu ia lakukan agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk menghidupi istri dan anaknya. Kerena hasil uang dari honor pusi tidak akan cukup membiayai hidupnya. Mengingat, kata Goenawan Mohamad, penyair adalah pekerjaan yang tidak jelas, tidak seperti dokter, guru, atau wartawan. Namun menjadi seorang editor tidak nyaman baginya. Itu bukanlah Chairil. Chairil sesungguhnya adalah seorang bohemian yang liar, bebas, tidak bisa dikekang, dan menabrak tatanan yang ada. Sebagaimana kata Sartre, “Manusia dihukum untuk merdeka”. Maka ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu. Ia kembali ke kehidupan lama meskipun dalam keadaan kere. Inilah pilihan Chairil. Chairil kembali melakukan rutinitas di luar menyair –membaca, berdiskusi, menulis, dan menerjemahkan- yang barangkali bisa dikatakan negatif’. Ia datang ke tempat pelacuran, minum alkohol di jalanan, mengunjungi rumah teman-teman sesama seniman, berjalan tak tahu arah tujuan, serta menyendiri dari keramaian. Ia lebih memilih menderita’ sebagaimana adanya. Ia rela menanggung risiko dari keputusannya itu. Saya meminjam ungkapan Arif Budiman dalam buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, “Ini artinya kesunyian. Ini artinya kesepian. Ini artinya penderitaan.” Pasrah dengan Nasib Apakah Chairil bahagia dengan cara hidup yang seperti ini? Entah! saya tidak tahu. Kebahagiaan itu relatif. Seseorang mempunyai letak kebahagiaannya masing-masing. Misalkan saya Chairil, saya sendiri akan sulit memaknai kebahagiaan. Saya tidak bisa bertanya seperti Goenawan Mohamad dalam pusi “Dingin Tak Tercatat” Tuhan, kenapa kita bisa bahagia? Barangkali inilah nasib hidup Chairil Anwar. Tuhan telah menakdirkannya. Ia tampaknya menerima semua ini dengan lapang dada. Sebagaimana dia pernah menulis Bukan maksudku mau berbagi nasib Nasib adalah kesunyian masing-masing Kendati demikian, dengan jalan hidup yang tidak jelas’, saya menduga bahwa semua itu ia lakukan untuk mencai tahu makna kehidupan dengan menghidupkan puisi. Kecintaannya terhadap seni dan sastra barangkali membuatnya menjadi seperti ini, agar bisa menyelami dan mendalami kondisi sosial yang tercermin dalam karyanya. Setelah berhenti menjadi editor, pendapatan Chairil tidak cukup banyak. Bahkan ia kesulitan dalam menghidupi keluarganya. Kondisi itu tentu membuat istrinya, Hapsah, berpikir-pikir untuk mempertahankan lelaki itu. Maka Chairil menyetujui permintaan Hapsah untuk “Bercerai”. Dia pun menerima dengan lapang dada Kita musti bercerai Biar surya kan menembus oleh malam di perisai Dua benua bakal bentur-membentur Merah kesumba jadi putih kapur Selanjutnya Chairil mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada Hapsah dan anaknya, Evawani Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal Selamat tinggal Mendekati Ajal Setelah bercerai, kehidupan Chairil tambah semrawut. Sejumlah penyakit menggerogoti tubuhnya. Kondisi fisiknya pun semakin melemah. Ia tampak lebih menderita dari sebelum-sebelumnya. Dalam keadaan ini, Chairil tersadar bahwa ia harus mendekat kepada Tuhan. Bagaimana pun juga, ia tetap mengakui bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya. Ia lemah, tak berdaya, dan ingin mengadu kepada Tuhan. Tak henti-hentinya ia melantunkan “Doa” Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling Setelah mendekati’ Tuhan, Chairil ingin masuk ke dalam “Sorga”. Tetapi ia sadar bahwa untuk menggapainya tidaklah mudah. aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi-Muhamadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku nekat mencemooh Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Situasi tersebut tampaknya menjadi tanda-tanda bahwa Chairil Anwar tidak akan hidup lama lagi. Saya pernah mendengar guru saya berkata, “Seseorang yang tiba-tiba mendekat ke Tuhan, kemungkinan pula ia semakin mendekati ajalnya”. Dalam hal ini memang banyak peristiwa yang terjadi di masyarakat. Misalnya orang mendadak alim dan rajin beribadah. Tahu-tahu, beberapa hari kemudian orang itu meninggal dunia. Tampaknya Chairil juga demikian. Apalagi, ia sering sakit-sakitan, kondisi tubuhnya semakin melemah. Wajahnya pucat dan ia sering mual-mual. Untuk bangun dari tempat tidur saja ia kesulitan. Sakit yang menggerogoti tubuh Chairil tidak kunjung hilang. Bahkan semakin parah seiring bertambahnya waktu. Virus menyebar ke mana-mana. Tetapi ia tidak punya banyak uang untuk membeli obat. Meramal Kematian Chairil tidak punya apa-apa. Hidupnya hanya menumpang di rumah teman. Untung teman senimannya mau menerima Chairil dan bersedia merawatnya saat sakit. Penyair bohemian itu tampaknya sudah menyadari akan datangnya kematian. Dia sebenarnya punya vitalitas tinggi, namun takdir tidak bisa ditolak, bukan? Begitulah nasib yang mungkin ia harus terima, begitu kejam tanpa memandang waktu. Malam yang berwangi mimpi, berlucur debu Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu Chairil yang dalam hidupnya tidak pernah mau mengalah, sepertinya saat ini harus mengalah dengan nasib. Ia hampir mencapai titik terakhirnya. Namun sebelum itu, ia berhasil menulis dua puisi terakhir. Keduanya sama-sama berbicara tentang kematian. Pertama, puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”. Dalam puisi ini, Chairil seolah meramal kematiannya sendiri. Ia bahkan sudah berpesan jika nanti akan dimakamkan di Karet, daerahku Jakarta Pusat. di Karet, di Karet daerahku sampai juga deru angin aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku Sejumlah kritukus menafsirkan adalah yang akan datang. Maksudnya, Chairil akan pindah dari dunia ini ke dunia yang lain. Selain itu, dalam puisi ini, Chairil menyatakan bahwa dirinya harus berbenah, berkemas, untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Ia melepaskan segala kenangan. Cerita yang pernah ia jalani akan berlalu dan tidak bisa ia bawa pergi. Ia benar-benar telah kalah dan menyerah terhadap nasib. Ia tidak kuat menghadapi serangan berbagai penyakit seperti TBC, tifus, gangguan usus kronis. Puisi terakhirnya, "Derai-derai Cemara” menjadi tanda bahwa hidup telah berhasil mengalahkannya. Hidup hanya menunda kekalahan Tambah terasing dari cinta sekolah rendah Dan tahu, ada yang tak sempat diucapkan Sebelum akhirnya kita menyerah Ketika menulis puisi itu, Chairil tampaknya sudah mengerti kalau takdir akan segera menjemput. Penyair itu seolah bisa menentukan kisah hidupnya sendiri. Seperti kata Agus Noor dalam puisi “Aku Masih Punya Puisi” Penyair tak hanya menulis puisi, ia menulis takdirnya sendiri Dan ramalan Chairil ternyata benar. Tepat 28 April 1949 ia menutup mata untuk selamanya dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat, sesuai permintaannya. Sayang sekali, padahal waktu itu ia berada di puncak karir. Ia menjadi pembaharu bahasa dan sastra Indonesia. Rendra mengatakan bahwa karya-karya Chairil telah mampu menginspirasi para sastrawan sezaman dan sesudahnya. Paus Sastra Indonesia, Jassin, melabelinya sebagai pelopor Angkatan '45 yang telah berhasil meruntuhkan istana Pujangga Baru. Ada satu hal yang membuat saya prihatin –boleh jadi Anda semua belum tahu. Bahwa Chairil meninggal dunia di usia yang terbilang masih muda, yaitu umur 27 tahun. Barangkali inilah yang membuat namanya besar. Di usia muda, Chairil sudah memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini, terkhusus dalam bidang bahasa dan sastra. Nama Chairil Anwar terdaftar dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta tahun 2006. Tetapi sayang, Chairil tidak mampu mewujudkan ambisinya untuk hidup seribu tahun lagi. Seperti yang pernah ia tulis, dua larik terakhir dalam puisi “Aku” Dan aku akan lebih tak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Meskipun Chairil gagal hidup seribu tahun lagi, tetapi jasanya tak pernah terlupakan. Jiwa dan semangatnya akan terus hidup abadi lewat karya-karyanya yang masih dapat kita nikmati sampai saat ini, bahkan lebih dari seribu tahun lagi. [Mahfud]
Beranda > Chairil Anwar > Puisi Kematian Chairil Anwar 27 20pm4000000pmSel, 20 Apr 2010 175402 +000054 2010 MENJEMPUT KEMATIAN –chairil anwar Lihatlah, kawan, mataku masih berkobar menyala-nyala walau tubuhku dihempas badai waktu tapi ruhku tetap menderu walau terik mentari menguras sumur keringatku tapi aku masih punya stok lautan semangat yang sampai kapan pun takkan habis tertelan suhu sehingga jiwaku takkan gersang dan beku walau hujan mengguyur tubuhku aku takkan menggigil karena kobaran semangat terus membakar tekadku tolong sampaikan pada dunia mataku masih belum lelah menatap dan menjemput mimpi-mimpiku dan akan kujemput kematian dengan senyuman dan karya dalam genggaman
puisi kematian chairil anwar